Tata Kelola Air Bersih Bandung Utara Dimonopoli Korporasi, Petani Menjerit
Wakil Ketua DPRD KBB, Dadan Supardan Dorong Evaluasi Manajemen Pengelolaan
BANDUNG BARAT, SILOKANEWS.COM,- Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Desa Cihanjuang Rahayu, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat (KBB) mengadukan keadilan tata kelola sumber daya air dari wilayah bandung utara yang di monopoli koorporasi besar seperti PDAM Tirta Raharja, PDAM Tirta Wening dan Eiger.
Sementara, P3A yang memiliki peran menjaga sumber air dan mendistribusikan air untuk pertanian dan konsumsi masyarakat diabaikan.
Wakil Ketua DPRD KBB, Dadan Supardan menilai akar masalah terletak pada lemahnya koordinasi antar lembaga, terutama antara Perhutani, pemerintah desa, dan pemerintah daerah.
“Pemerintah daerah harus segera bersikap. Karena tanah itu kan milik Perhutani. Jadi Perhutani seharusnya berkoordinasi dengan Pemkab Bandung Barat untuk menentukan bagaimana pemanfaatan sumber air itu,” terang Dadan, usai menerima audiensi P3A Cihanjuang Rahayu di Gedung DPRD KBB, Mekarsari, Selasa 22 September 2025.
Menurut Dadan, jika kewenangan pengelolaan air dikembalikan kepada pemerintah daerah, maka distribusi air bisa lebih terarah. P3A pun bisa dilibatkan secara formal sehingga tidak ada ruang bagi kesewenang-wenangan pemerintah desa atau lembaga tertentu.
“Kalau kerjasama sudah jelas, otomatis Kabupaten Bandung, Kota Bandung, bahkan Kota Cimahi yang juga membutuhkan air dari Bandung Barat bisa bekerjasama dengan pemerintah daerah. Termasuk PDAM yang kini memanfaatkan sumber air dari wilayah Bandung Barat,” jelasnya.
Kasus ini memperlihatkan lemahnya tata kelola sumber daya alam di tingkat daerah. Di satu sisi, masyarakat menjerit karena harga air bersih mahal. Di sisi lain, perusahaan leluasa menikmati keuntungan dari sumber daya yang seharusnya menjadi hak rakyat.
Dorongan untuk menghadirkan regulasi yang tegas pun semakin mendesak. Pemerintah daerah dituntut mengambil peran sentral agar hak pengelolaan tidak hanya jatuh ke tangan korporasi, melainkan juga melibatkan P3A yang memiliki rekam jejak menjaga lingkungan dan sumber air.
“Perebutan akses air bersih ini bisa menjadi bom waktu. Jika tidak ada langkah nyata pemerintah daerah bersama Perhutani, maka konflik kepentingan antara masyarakat, desa, dan perusahaan akan semakin tajam,” tegas Dadan menandaskan.
Persoalan klasik soal distribusi air bersih yang semestinya dikelola masyarakat melalui P3A, justru kini lebih banyak dikuasai perusahaan dan pihak luar yang memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan bisnis.
Ketua P3A Desa Cihanjuang Rahayu, Kecamatan Parongpong, Nandang menyatakan, adanya ketidakpuasan atas praktik yang terjadi di lapangan.
Menurutnya, pihak P3A yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menjaga dan menyalurkan air justru tidak diakui keberadaannya oleh Perhutani maupun pemerintahan desa.
“Jadi keinginan kami, air itu jangan terus-terusan sama orang luar, sama investor-investor. Yang mengelola itu kan P3A, tapi oleh Perhutani tidak diakui. Malahan yang berhak itu P3A, bukan orang luar,” kata Nandang saat menemui Wakil Ketua DPRD KBB, Dadan Supardan, Rabu, 24 September 2025.
Diungkapkan Nandang, sebagian besar air dari sumber Ciwangun, Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, kini justru dikuasai pihak luar dan diperjualbelikan dengan harga tinggi. Dampaknya, masyarakat harus menanggung biaya besar untuk sekadar mendapatkan akses air bersih.
“Masyarakat itu untuk punya air wajib punya uang Rp2,5 juta. Sedangkan tidak semua mampu. Makanya kami dari P3A ingin punya bak penampungan sendiri, disebarkan ke masyarakat dengan biaya lebih terjangkau,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menyoroti, lemahnya peran pemerintah desa yang dinilai tidak melibatkan P3A dalam kerjasama pengelolaan sumber mata air.
Ia menyebutkan, kerjasama langsung dilakukan dengan perusahaan-perusahaan besar tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
“Selama ini P3A berkolaborasi dengan LMDH. Tapi untuk pemanfaatan air ini, desa tidak melibatkan kami. Justru langsung kerjasama dengan perusahaan. Padahal perusahaan yang memanfaatkan air ini jelas ada, seperti Tirta Wening, Tirta Raharja, Eiger, dan lainnya,” bebernya.
P3A, lanjut Nandang, hanya berharap adanya koordinasi dan payung hukum yang jelas antara Perhutani dengan pemerintah daerah agar pengelolaan air bisa lebih berpihak pada masyarakat.
“Kami ingin ada MoU untuk menjaga stabilitas air sebagai kebutuhan lingkungan dan masyarakat,” imbuhnya.