BudayaEkonomiRagam

Cafe Bumi Pamanah Rasa, Bersantap Kuliner Legend Jalanan Bandung Penuh Nilai dan Makna Sunda

Nuansa Karakter Sunda Menjadikan Makan Lebih Bernilai

BANDUNG, SILOKANEWS,- Pada dekade 1980-an, anak muda Kota Bandung tentu tak asing dengan Jalan Van Deventer, disana titik awal berkumpulnya generasi muda Bandung bertukar ide kreatif hingga menghidupkan karakter Kota Bandung sebagai Kota Kreatif

Delapan tahun lalu, Donny Wiranatakusumah salah satu tokoh yang banyak berperan dalam hiruk pikuk kreatifitas Kota Bandung resmi membuka kafe mungil bernama Zie Café, hadir dengan nuansa urban rustic yang lekat dengan semangat kreatif Bandung.

Interiornya menampilkan perpaduan kayu, logam dan elemen industrial yang kala itu menjadi tren baru hidup urban yang dinamis.

Namun seiring berjalannya waktu, kafe ini bertransformasi, menemukan bentuk dan identitas baru mengusung judul ‘Bumi Pamanah Rasa’ ruang yang memadukan cita rasa kuliner lokal dengan nilai-nilai budaya Sunda.

Owner kafe Bumi Pamanah Rasa, Donny Wiranatakusumah menerangkan, dari sekian banyak kafe di Kota Bandung hanya menekankan sebagai tempat bersantap. Namun bagi Bumi Pamanah Rasa, cafe menjadi ruang untuk melestarikan budaya Sunda dan menanamkan pengetahuan bagi generasi muda.

Kini, Bumi Pamanah Rasa bukan sekadar kafe, melainkan ruang yang menautkan cita rasa dengan akar budaya. Menu andalannya, ‘nasi jantung ayam’ dan ‘nasi goreng jantung’, memperlihatkan keberanian bereksperimen sekaligus penghormatan terhadap bahan pangan lokal.

Uniknya, setiap masakan itu senantiasa harus mengandung 11 rempah pilihan, hasil racikan juru masaknya. Sajian ini menghadirkan aroma kaya, rasa gurih, dan sentuhan pedas yang seimbang.

Hidangan yang berakar dari cerita kuliner jalanan itu kini menemukan tempatnya di Jalan Van Deventer, menjadi ikon Bumi Pamanah Rasa dan favorit banyak pengunjung.

Selain urusan dapur, Bumi Pamanah Rasa juga menjadi ruang pelestarian budaya. Setiap sudutnya menampilkan aksara Sunda dari masa ke masa, disertai penjelasan singkat tentang sejarah dan maknanya.

“Di dinding, terpampang perjalanan huruf-huruf tua yang pernah hidup di tanah Priangan. Saya berharap kafe ini menjadi ruang edukasi bagi generasi muda yang kian jauh dari bahasa ibunya,”ucap dia.

Setiap Rabu sore pukul 16.00, suasana kafe berubah menjadi forum kecil bernama Diskusi Ketahanan Pangan ‘Tali Paranti’. Forum ini dipandu oleh Abah Godong Sewu (Agus Sofyan), yang dengan terbuka membagi ilmunya tentang kemandirian pangan.

“Dari dapur kecil inilah kami belajar bahwa pangan dan budaya punya hubungan erat. Apa yang kita makan mencerminkan siapa kita,”ujar Donny.

Nadya Gadzali, penulis budaya yang aktif menelusuri isu pangan dan kebudayaan lokal, turut menjembatani dialog antara pelaku pangan dan masyarakat sebuah upaya menghidupkan kembali hubungan manusia dengan sumber pangannya.

Dalam suasana hangat dan egaliter, para petani urban, pegiat lingkungan, mahasiswa, dan warga kota saling bertukar pikiran tentang isu pangan berkelanjutan.

Transformasi dari Zie Café menjadi Bumi Pamanah Rasa bukan hanya perubahan nama atau desain, tapi perjalanan spiritual dan kultural.

Dari gaya urban-rustik yang pernah menjadi cirinya, kafe ini kini tampil lebih hangat dengan material bambu, kayu, dan ornamen tradisional.

Menu-menu Barat yang dulu menghiasi daftar sajian perlahan berganti menjadi olahan lokal yang diramu ulang dengan sentuhan modern, sejalan dengan semangat Bumi Pamanah Rasa untuk kembali ke akar budaya tanpa meninggalkan rasa masa kini.

Budaya Sunda tidak harus dipelajari lewat buku atau museum; tapi bisa hadir dalam keseharian, lewat makanan dan percakapan.

“Bumi Pamanah Rasa membuktikan bahwa kafe dapat melampaui fungsi kuliner menjadi ruang berbagi pengetahuan, tempat mengenal kembali asal-usul, sekaligus pengingat bahwa pangan adalah bagian dari budaya,”pungkas Nadya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button