Tanpa Konpensasi, Ratusan Bangunan Liar di Situ Ciburuy Dibabat
BANDUNG BARAT, SILOKANEWS.COM,– Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil langkah tegas dengan membongkar sejumlah bangunan liar di kawasan Situ Ciburuy, yang terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, pada Kamis (18/9/2025).
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk Proyek Revitalisasi Situ Ciburuy dari UPTD Pengelola Sumber Daya Air (PSDA) Wilayah Sungai Citarum, Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jabar, Ninda Agustina mengatakan, bangunan-bangunan tersebut dikategorikan ilegal karena berdiri di wilayah sempadan danau di tanau milik negara. Pihaknya menegaskan bahwa tidak akan ada kompensasi bagi warga yang terkena dampak penggusuran.
“Bangunan-bangunan itu dibangun tanpa izin resmi, padahal area sempadan danau adalah aset milik pemerintah. Awalnya mungkin hanya berupa warung kecil, lalu berkembang menjadi bangunan permanen. Namun dari sisi hukum, tetap tidak sah. Jadi, dari Pemprov tidak ada skema ganti rugi,”ujar Ninda saat diwawancarai di lokasi.
Ia menjelaskan bahwa kegiatan penertiban dilakukan untuk mendukung penataan kembali kawasan Situ Ciburuy. Kawasan ini tidak hanya berfungsi sebagai penampungan air, tapi juga memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata yang sedang dikembangkan.
“Situ Ciburuy ini memiliki dua peran penting: sebagai badan air dan juga lokasi wisata. Kami ingin mengembalikan fungsinya yang sempat terganggu,” lanjutnya.
Dengan luas mencapai sekitar 25 hektare, kawasan Situ Ciburuy saat ini sebagian telah dialihfungsikan oleh masyarakat menjadi area pertanian, usaha, bahkan tempat tinggal. Penertiban akan dilaksanakan secara bertahap agar kawasan tersebut dapat difungsikan kembali sesuai peruntukannya.
“Pada tahap awal, penertiban difokuskan di area hulu atau Situ 2, di mana terdapat sawah, kolam, serta sejumlah warung. Kawasan ini akan diberi batas yang jelas, agar masyarakat mengetahui area mana yang dilarang untuk didirikan bangunan tanpa izin,”tambah Ninda.
Terkait proses relokasi, pihaknya menyebut bahwa sosialisasi kepada warga terdampak telah dilakukan sejak Agustus 2025. Namun, masih ada permintaan dari warga untuk penundaan pembongkaran karena kendala finansial.
“Mereka minta waktu tambahan, misalnya untuk mencari tempat kontrakan sementara. Kami hanya menangani aspek fisiknya, untuk bantuan sosial bisa dikoordinasikan dengan dinas lain seperti Dinas Sosial atau Disperkim. Tapi secara hukum, memang mereka tidak memiliki hak atas lahan tersebut,”tegasnya.
Ninda juga menyampaikan bahwa keluhan warga terkait kesulitan biaya pindah akan diteruskan kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan harapan ada perhatian lebih terhadap kondisi sosial warga terdampak.
“Kami akan sampaikan aspirasi ini kepada Pak Gubernur. Mudah-mudahan ada kebijakan yang bisa memfasilitasi kebutuhan warga selama proses relokasi ini,”pungkasnya.
Proses penggusuran dimulai pukul 09.00 WIB dengan menggunakan alat berat dan dikawal ketat oleh puluhan petugas TNI-Polri, Satpol PP, dan petugas SDA Jabar. Petugas hanya menyasar bangunan kosong untuk dirobohkan. Pasalnya, warga meminta waktu dan kepastian soal adanya uang pengganti pindah dari Pemprov Jabar.
“Kami paham tanah ini milik pemerintah dan siap pindah. Namun kami minta aparat membantu menyediakan tempat sewa sementara dan penyimpanan barang. Jangan bongkar rumah yang masih ada penghuninya,” kata warga salah satu korban penggusuran, Neneng Siti Kulsum (53).
Di pinggir situ Ciburuy, Neneng membangun rumah tinggal dan tempat usaha penampungan rongsokannya yang sudah dijalankan selama 40 tahun silam.
Neneng mendukung upaya pemerintah dalam menata Situ Ciburuy dan mengembangkan kawasan wisata. Namun, ia dan warga lainnya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah hidup dari usaha harian sehingga proses pindah tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Kami bekerja hari ini untuk makan hari ini. Kalau harus pindah, kami butuh bantuan, terutama tempat sewa rumah sementara dan tempat penyimpanan barang,” katanya.
Ia juga meminta agar rumah yang masih ditempati tidak dibongkar sampai penghuninya benar-benar pindah. Neneng menyadari bahwa penertiban ini adalah bagian dari kebijakan pemerintah, namun baginya dan warga lainnya, proses ini bukan sekadar kehilangan tempat tinggal, melainkan juga kehilangan mata pencaharian yang telah dijalani puluhan tahun.
“Kalau rumah belum kosong, jangan dirobohkan dulu. Kami perlu waktu dan bantuan agar bisa beranjak dengan layak,” tuturnya.
Sementara Oshie, warga lain yang menjalankan usaha penyewaan alat pesta pernikahan, mengaku belum mendapatkan kepastian dari pemerintah soal lokasi pengganti dan biaya pindahan. “Kami minta jangan dibongkar dulu sampai ada kejelasan,”ujarnya.
Kepala Desa Ciburuy, Firmansyah menjelaskan penertiban ini mencakup ratusan bangunan yang tersebar di 10 wilayah RW, mulai dari RW 05 hingga RW 17. Bangunan yang dibongkar meliputi sekitar 40 unit rumah tinggal, ratusan kios dan warung, serta sejumlah fasilitas keagamaan dan pendidikan.
Warga yang menempati lahan tersebut sebenarnya telah diberi sosialisasi sejak Agustus 2025. Meski mengetahui tanah yang mereka tempati adalah milik pemerintah, mereka meminta waktu dan biaya relokasi yang layak.
“Warga sadar akan penertiban ini, namun meminta agar proses pemindahan dilakukan dengan penuh pertimbangan dan diberikan waktu cukup,” tandasnya.