Mahkamah Konstitusi (MK) Dalam Bayangan Kekuasaan
Oleh : Asep Wahyu FS (Pengamat Masalah Sosial Politik dan Pemerintahan Lokal, Tinggal di Bumi Ganas Sari Bandung)
SILOKA.COM,- Mahkamah Konstitusi (MK) semestinya menjadi pilar terakhir penjaga konstitusi, tempat rakyat menggantungkan harapan bahwa hukum akan berdiri tegak tanpa tunduk pada kekuasaan.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, citra tersebut mulai keropos. Sejumlah putusan MK justru menghadirkan tanda tanya besar, bukan karena kompleksitas perkara, tetapi karena aroma keberpihakan yang terasa kuat.
Tidak sedikit yang menilai, Mahkamah kini seperti berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.
Jejak Keputusan Kontroversial
Setidaknya sejak Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam Pilpres 2024, integritas MK mulai terguncang.
Publik dikejutkan oleh logika hukum yang dinilai dipaksakan, dan oleh fakta bahwa Ketua MK saat itu adalah adik ipar Presiden sendiri.
Putusan ini bukan hanya menimbulkan gelombang kritik dari akademisi, masyarakat sipil, dan mantan hakim konstitusi, tapi juga membuka kembali perdebatan: sejauh mana independensi lembaga ini bisa bertahan di tengah tekanan kekuasaan?
Alih-alih menjadi pemutus yang adil dan menjaga jarak dari kekuasaan, MK justru dinilai melayani kepentingan politik tertentu melalui tafsir hukum yang fleksibel-bahkan lentur.
Kesannya, konstitusi bukan lagi menjadi pijakan normatif, melainkan medan tafsir yang bisa digeser mengikuti arah angin politik.
Dari Penjaga Konstitusi ke Alat Justifikasi?
Kecurigaan terhadap keberpihakan MK kian menguat ketika dalam Putusan No. 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah membuka jalan bagi pemisahan kembali pemilu nasional dan pemilu daerah, mengoreksi arah Pemilu Serentak yang sebelumnya ditegaskan oleh MK sendiri pada 2013.
Padahal, argumen presidensialisme yang menjadi dasar pemilu serentak sebelumnya masih relevan dan belum terbantahkan.
Namun MK tampak abai terhadap prinsip stare decisis-yakni prinsip untuk menghormati preseden hukum yang telah ditetapkan. Jika dalam satu dekade terakhir Mahkamah berkeras pada logika penguatan presidensialisme, kini logika itu dilepas begitu saja tanpa penjelasan konseptual yang kuat.
Di sinilah publik mulai bertanya: apakah MK membuat keputusan berdasarkan dinamika hukum atau tekanan politik?
Jika MK terus mengeluarkan putusan-putusan yang tidak konsisten, tidak transparan secara argumentatif, dan terkesan mengikuti kepentingan jangka pendek kekuasaan, maka peran konstitusionalnya bisa berubah drastis-dari penjaga konstitusi menjadi alat justifikasi.
Krisis Kepercayaan dan Bahaya Institusional
Tidak ada lembaga hukum yang bisa bertahan tanpa kepercayaan publik. Mahkamah Konstitusi dibentuk pasca-Reformasi sebagai simbol supremasi konstitusi, sekaligus koreksi atas model kekuasaan tanpa batas ala Orde Baru. Jika MK kini justru terjerumus ke dalam praktik yang menghidupkan kembali relasi kuasa seperti era lalu, maka ini bukan hanya kemunduran, tapi pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Apalagi, krisis integritas di MK terjadi bersamaan dengan meningkatnya kecenderungan sentralisasi kekuasaan di eksekutif.
Dalam konteks itu, independensi lembaga-lembaga demokrasi seperti MK menjadi krusial. Jika Mahkamah goyah, maka check and balance dalam sistem ketatanegaraan kita terancam lumpuh.
Jalan Keluar : Reformasi Internal dan Kontrol Publik
Sudah saatnya MK melakukan introspeksi mendalam. Pembenahan etik, mekanisme seleksi hakim konstitusi yang lebih transparan, dan penguatan pengawasan internal harus menjadi agenda utama. Kita tidak bisa membiarkan MK berjalan sendiri tanpa kontrol yang efektif dari masyarakat sipil, akademisi, dan media.
Lebih dari itu, publik juga harus lebih aktif dalam mengawal putusan-putusan Mahkamah. Kita tidak bisa membiarkan tafsir konstitusi digiring semaunya oleh elite politik.
Sebab ketika konstitusi tidak lagi menjadi norma tertinggi, maka yang tertinggi adalah kekuasaan itu sendiri-dan itu adalah jalan mundur menuju otoritarianisme.
Penutup : Harapan yang Tersisa
Mahkamah Konstitusi memang belum sepenuhnya jatuh, tetapi sinyal-sinyal kemunduran tak bisa disangkal. Jika tidak segera dibenahi, maka tidak mustahil MK akan kehilangan legitimasi sepenuhnya di mata publik. Dan ketika penjaga konstitusi tak lagi dipercaya, maka rumah besar demokrasi Indonesia akan berdiri di atas fondasi yang rapuh.
Karena itu, masih ada harapan—selama publik tetap kritis dan Mahkamah bersedia kembali kepada jati dirinya: menjadi benteng terakhir konstitusi, bukan perpanjangan tangan kekuasaan.
(Penulis : Pengamat Masalah Sosial Politik dan Pemerintahan Lokal, Tinggal di Bumi Ganas Sari Bandung)