EkonomiHukum dan KriminalPemerintahanPendidikanSosial Politik

Kepala Dapur Diduga Lalai, Program Makan Bergizi Gratis Berubah Jadi Petaka Massal

BANDUNG BARAT, SILOKANEWS.COM,- Sejak 22 September 2025, lebih dari 2.000 siswa di Kabupaten Bandung Barat dilaporkan mengalami gejala keracunan massal setelah mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Kasus terjadi secara beruntun di Cipongkor, Cihampelas, Cisarua, dan Lembang, dan sempat ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat meski status tersebut kini telah dicabut kembali seiring menurunnya jumlah kasus baru.

Program yang sejatinya dirancang untuk menyehatkan generasi muda kini justru menjadi sumber kekhawatiran dan trauma bagi para penerimanya.

Kelalaian Prosedur di Dapur SPPG

Pemerhati sosial dan lingkungan hidup Eko Setiono menyoroti tajam berulangnya insiden keracunan massal di Bandung Barat.

Ia menilai, kebijakan nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto melalui program MBG sejatinya sangat baik dan visioner, namun gagal dijalankan dengan benar di lapangan.

“Kebijakan Presiden Prabowo soal MBG itu bagus. Tapi belum bisa dilaksanakan dengan baik oleh dapur SPPG,” ujarnya, Rabu (29/10/2025).

Menurut Eko, diduga terdapat kelalaian prosedur dalam penyajian makanan bergizi, mulai dari proses pengolahan hingga distribusi ke sekolah-sekolah.

Ia menilai, ketidakdisiplinan dan minimnya keterampilan pengelolaan dapur besar menjadi penyebab utama munculnya berbagai kasus keracunan.

“Diduga terjadi pelanggaran prosedur di dapur SPPG. Ini jelas merugikan masyarakat luas dan menimbulkan trauma mendalam bagi penerima manfaat,” tegasnya.

Eko juga menyoroti bahwa kepala dapur SPPG yang ditunjuk langsung oleh Badan Gizi Nasional (BGN) telah mendapat pelatihan, namun belum memiliki pengalaman cukup dalam mengelola dapur berskala besar yang melayani ribuan porsi setiap hari.

“Saya yakin kepala dapur SPPG belum berpengalaman dalam manajemen dapur besar,” katanya menambahkan.

Bahan Baku yang Tak Diperlakukan dengan Benar

Lebih lanjut, Eko mempertanyakan sejauh mana pengelola dapur memahami cara memperlakukan bahan baku makanan dengan benar.

Menurutnya, bahan baku dari pemasok biasanya dalam kondisi baik karena telah melalui proses quality control (QC). Namun, kerusakan bisa terjadi di dapur, ketika bahan tidak disimpan atau diolah sesuai standar higienitas.

“Bahan baku pasti datang dalam kondisi baik. Tapi setelah masuk dapur, apakah diperlakukan dengan benar? Itu pertanyaan penting,” ujarnya.

Eko menambahkan, penanganan bahan kering dan basah yang tidak tepat — termasuk suhu ruang dan tempat penyimpanan — sangat memengaruhi kualitas bahan.
Kesalahan kecil dalam perlakuan bahan baku bisa menjadi awal munculnya bakteri dan kontaminasi silang pada masakan.

Tanggung Jawab Moral dan Profesional

Eko menilai, tanggung jawab terbesar atas rentetan kasus keracunan MBG ada di tangan kepala dapur SPPG.

Jabatan itu, katanya, bukan sekadar administratif, melainkan menuntut pemahaman teknis mendalam tentang keamanan pangan dan standar produksi massal.

“Menurut saya, yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian keracunan MBG adalah kepala SPPG. Dia harus sangat ketat terhadap prosedur memasak,” tegasnya.

Ia berharap, pemerintah pusat dan daerah ke depan lebih selektif dalam menunjuk pengelola dapur MBG serta memperkuat pengawasan lintas sektor antara Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Badan Gizi Nasional agar insiden serupa tidak terulang.

Diketahui Sejak September 2025, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah menutup sementara sejumlah dapur MBG dan melakukan pengujian terhadap 163 sampel makanan.
Hasil laboratorium menunjukkan indikasi kontaminasi bakteri dan kadar nitrit tinggi pada beberapa menu.

Meski status KLB kini telah dicabut, trauma sosial dan krisis kepercayaan terhadap program MBG masih terasa kuat di kalangan orang tua dan siswa.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button