Tembalang Kian Sesak Saat Semangat Pendidikan Terbentur Krisis Tata Ruang
Opini Oleh: Agnia Mezzaluna Siti Sofia /Mahasiswa Universitas Dipenogoro
Setiap awal tahun akademik, Tembalang kembali ‘meledak’. Jalanan padat, warung penuh, dan lautan kendaraan mengular ke mana-mana. Tahun 2025 ini, pemandangan itu terasa makin sesak.
Universitas Diponegoro (UNDIP) mencatat sebanyak 16.380 mahasiswa baru resmi diterima, naik dari tahun sebelumnya. Angka itu seolah menjadi sinyal agar siap-siap, kawasan Tembalang kembali macet.
Dampaknya terasa langsung. Mulai dari warung makan yang laris, jasa laundry kebanjiran pelanggan, toko kelontong hidup lagi. Ekonomi warga jelas bergerak. Tapi di sisi lain, muncul keluhan lama: macet, susah parkir, dan kost yang makin mahal. Jalan Prof. Soedarto dan Banjarsari yang jadi urat nadi menuju kampus, kini hampir tak pernah benar-benar sepi.
Fenomena ini sejatinya bukan hal baru. Setiap tahun ajaran baru, Tembalang selalu menghadapi masalah klasik, lonjakan penduduk sementara tanpa infrastruktur yang ikut tumbuh. Mahasiswa, dosen, dan pegawai datang ke satu titik yang sama, sementara kapasitas jalan dan fasilitas publiknya stagnan.
Pembangunan kost baru terus bermunculan, bahkan sering tanpa perencanaan matang. Di kawasan Mulawarman misalnya, bangunan yang belum rampung pun sudah penuh pemesan. Tanda bahwa permintaan hunian tinggi, tapi juga bukti lemahnya pengawasan tata ruang.
Masalah bertambah saat ribuan mahasiswa baru datang membawa motor atau mobil pribadi. Alasannya sederhana, lebih cepat dan nyaman. Tapi kalau semua berpikir begitu, hasilnya satu kemacetan. Jalanan Tembalang yang sempit dan menanjak jadi tak sanggup menampung volume kendaraan. Transportasi publik yang belum optimal membuat mahasiswa tak punya banyak pilihan selain bergantung pada kendaraan pribadi dan ojek daring.
Ironisnya, di tengah padatnya arus kendaraan dan bangunan yang menjamur, ruang terbuka makin terhimpit. Pepohonan ditebang demi lahan parkir atau bangunan kost. Padahal, kampus semestinya jadi pusat ilmu pengetahuan yang juga menanamkan nilai keberlanjutan lingkungan.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri, keberadaan mahasiswa membawa dampak ekonomi luar biasa bagi warga. Tembalang hidup karena kampus. Namun, pertanyaannya, apakah pertumbuhan ekonomi ini seimbang dengan kualitas hidup dan keberlanjutan lingkungannya?
Pemerintah Kota Semarang sudah seharusnya memandang Tembalang bukan sekadar kawasan kampus, tetapi ekosistem kota kecil yang kompleks dan dinamis. Butuh sinergi nyata antara pemerintah, universitas, dan masyarakat. Mulai dari penataan zonasi hunian, pembatasan pembangunan liar, hingga pengaturan transportasi terpadu.
Salah satu langkah yang layak dicoba adalah sistem shuttle bus internal kampus yang menghubungkan titik-titik strategis di Tembalang. Cara ini bukan hanya mengurangi kendaraan pribadi, tapi juga mempermudah mobilitas mahasiswa antar-fakultas. Ditambah lagi, kebijakan ramah lingkungan seperti jalur sepeda atau insentif bagi pengguna transportasi bersama bisa jadi solusi jangka panjang.
Namun, sebaik apa pun kebijakan pemerintah, semuanya akan percuma tanpa kesadaran mahasiswa sendiri. Membawa kendaraan pribadi memang nyaman, tapi juga berarti ikut menyumbang kemacetan. Mulai dari hal kecil, berjalan kaki untuk jarak dekat, berbagi kendaraan dengan teman, atau menggunakan transportasi kampus. Itu bukan hanya pilihan praktis, tapi juga bentuk tanggung jawab sosial.
Mahasiswa bukan sekadar penonton dalam persoalan ini. Mereka bagian dari wajah Tembalang hari ini. Kalau ikut menambah beban ruang, sudah seharusnya ikut jadi bagian dari solusinya.
Tembalang tumbuh bersama UNDIP dan keduanya saling membentuk. Namun, pertumbuhan tanpa arah hanya akan menimbulkan sesak napas bagi warganya. Menjaga Tembalang agar tetap nyaman bukan tugas satu pihak saja. Kampus, pemerintah, warga, dan mahasiswa harus berjalan bersama.
Karena pada akhirnya, kota yang baik bukan yang paling ramai oleh aktivitas tapi, yang memberi ruang bernapas bagi setiap penghuninya.