Hukum dan KriminalPemerintahanSosial Politik

Wow! Segini Tunjangan DPRD Bandung Barat, Angkanya Naik di Tengah Instruksi Efisiensi Prabowo

BANDUNG BARAT, SILOKANEWS.COM,- Saat rakyat masih berjibaku dengan mahalnya harga beras dan ongkos hidup yang kian menghimpit, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bandung Barat justru menikmati tunjangan mewah yang nilainya bisa menembus hampir Rp50 juta per bulan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017, rincian tunjangan anggota DPRD Kabupaten/Kota sejatinya sudah sangat besar, berkisar antara Rp36 juta hingga Rp45 juta setiap bulannya.

Tunjangan itu terbagi dalam sejumlah pos seperti uang representasi Rp1.575.000, tunjangan keluarga Rp220.000, hingga tunjangan beras Rp289.000 per bulan.

Tidak berhenti di sana, ada pula uang paket Rp157.000, tunjangan jabatan Rp2.283.750, serta tunjangan alat kelengkapan Rp91.350 per bulan.

Anggota DPRD juga diguyur dengan tunjangan reses Rp2.625.000, tunjangan komunikasi intensif Rp10.500.000, tunjangan transportasi Rp12.000.000, dan tunjangan perumahan Rp12.000.000 per bulan.

Namun pada awal 2025, tunjangan itu naik signifikan, terutama pada tiga pos besar: perumahan, transportasi, dan komunikasi.

Data yang dihimpun ditemukan tunjangan perumahan DPRD Bandung Barat kini melonjak dari Rp12 juta menjadi Rp20 juta per bulan.

Tunjangan transportasi naik dari Rp12 juta menjadi Rp15 juta, sementara tunjangan komunikasi melesat dari Rp10,5 juta menjadi Rp14 juta per bulan.

Artinya, hanya dari tiga pos tunjangan itu saja, setiap anggota dewan bisa mengantongi hampir Rp49 juta sebulan. Jumlah yang bagi buruh, petani, dan pekerja informal hanya bisa dibayangkan dalam mimpi.

Ironinya, kenaikan tunjangan ini justru berjalan berlawanan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya efisiensi anggaran dan penghematan belanja birokrasi.

Di satu sisi rakyat diminta bersabar menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, di sisi lain elite politik daerah justru menambah fasilitas kenyamanan dengan dana publik.

Sebagai perbandingan, Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bandung Barat pada 2025 berada di kisaran Rp3,8 juta per bulan. Artinya, satu bulan tunjangan perumahan seorang anggota dewan setara dengan gaji lima pekerja selama sebulan penuh.

Lebih tajam lagi, total tunjangan tiga pos besar DPRD senilai Rp49 juta berarti hampir 13 kali lipat UMR. Di tengah inflasi pangan dan harga kebutuhan dasar yang terus meroket, perbedaan ini menegaskan jurang kelas yang semakin lebar.

Bungkamnya Pimpinan Dewan

Disinggung soal evaluasi tunjangan, Ketua DPRD Bandung Barat, Muhammad Mahdi, mengaku pihaknya hanya menjalankan aturan yang berlaku.

“Kami mengikuti aturan di atas saja. Kami gak bisa menentang aturan. Masalah cukup atau tidak gimana kita bersyukur aja,”ujar Mahdi.

Disinggung adanya kenaikan tunjangan perumahan, Mahdi enggan menyebut angka detail. Padahal tunjangan DPRD Bandung Barat cukup fantastis jika melihat uraian berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017.

“Beda-beda. Tergantung yang pasti tidak seperti di dewan pusat. Intinya kalau tunjangan itu dihilangkan dan jadi aturan kenapa tidak,”katanya.

Mahdi menegaskan angka tunjangan perumahan sesuai dengan harga pasaran rumah di Bandung Barat.

“Yang pasti gak seperti di DPR RI. Saya tidak berkenan untuk berbicara angka. Tidak etis, bahaya kalau sampai keluar,” tambahnya.

Bermewah-Mewah di Tengah Jeritan Rakyat

Tunjangan yang fantastis ini mendapat respons publik, Nuryansyah, mahasiswa Unjani asal Bandung Barat menilai kenaikan tunjangan ini sebagai ironi yang menohok di tengah kondisi rakyat yang kian kesulitan.

“Tunjangan fantastis ini adalah cermin nyata bagaimana birokrasi lebih sibuk mengamankan kenyamanan elit daripada memikirkan kebutuhan material rakyat pekerja,”tegas Nur.

Menurutnya, kenaikan tunjangan DPRD Bandung Barat adalah bentuk ketimpangan kelas yang semakin lebar.

“Sementara buruh dibenturkan dengan upah murah, petani terus dibiarkan menghadapi harga jual rendah, elit politik justru menumpuk keuntungan lewat APBD. Ini adalah wajah telanjang yang disebut sebagai eksploitasi sistematis,”ujarnya.

Menurutnya, jika DPRD serius ingin mewakili rakyat, maka semestinya mereka justru memotong tunjangan dan mengalihkan anggaran untuk subsidi pangan, pendidikan, atau transportasi publik.

“Selama politik masih dijalankan dengan logika borjuis birokratis, rakyat hanya akan terus jadi objek. Kenaikan tunjangan ini bukan sekadar soal angka, tapi bukti bahwa demokrasi kita telah digadaikan untuk kepentingan segelintir elite,”sebutnya.

Sementara itu, Asep (45), seorang buruh pabrik di Padalarang, mengaku miris mendengar kabar kenaikan tunjangan DPRD.

“Kami kerja 12 jam sehari gaji cuma Rp3,8 juta. Itu pun sering telat cair. Mereka enak-enakan dapat puluhan juta sebulan. Rasanya gak adil, kami yang bikin barang dipajaki, mereka yang duduk enak malah dapat fasilitas,”kata Asep.

Hal serupa diungkapkan Yayah (39), pedagang sayur di Pasar Tagog Padalarang. Ia menyebut harga beras yang makin mahal membuat hidupnya semakin tercekik.

“Kami tiap hari mikir gimana bisa makan, mereka mikir gimana nambah tunjangan. Kalau kayak gini terus, rakyat kecil gak akan pernah naik derajat,” keluhnya.

Kontras antara penghasilan rakyat dan tunjangan wakil rakyat menegaskan satu hal: politik elektoral seringkali hanya jadi panggung yang meneguhkan dominasi elite atas rakyat pekerja.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button