PemerintahanRagamSosial Politik

Menanti Kelahiran Kabupaten Bandung Timur yang Terlunta

Oleh : ASEP WAHYU FS (Pemerhati Masalah Sosial Politik dan Pemerintahan Lokal)

Lebih dari satu dekade terakhir, wacana pembentukan Kabupaten Bandung Timur terus menggema di berbagai ruang – dari rapat warga desa hingga ruang sidang DPRD. Namun hingga kini, impian itu belum juga menjelma menjadi kenyataan.

Aspirasi pemekaran wilayah yang tumbuh dari kesadaran akan ketimpangan pembangunan dan jauhnya jangkauan pelayanan publik itu justru seakan terkatung-katung tanpa arah yang pasti. Maka layak kiranya kita bertanya: mengapa kelahiran Kabupaten Bandung Timur terus terlunta?

Jika menoleh pada sejarah pemekaran daerah pasca-Reformasi, kita melihat bahwa banyak daerah otonom baru (DOB) terbentuk karena alasan pemerataan pembangunan dan efisiensi pelayanan.

Kabupaten Bandung Barat adalah salah satu contoh sukses yang lahir dari perjuangan akar rumput. Masyarakat Padalarang, Lembang, hingga Cikalongwetan saat itu menyuarakan ketimpangan dan memperjuangkan pemekaran melalui wadah seperti Komite Percepatan Pembentukan KBB (KPKBB).

Situasi serupa juga dirasakan oleh masyarakat di kawasan timur Kabupaten Bandung, meliputi wilayah  Majalaya, Ciparay, Solokanjeruk, Rancaekek, Cicalengka, dan sekitarnya.

Wilayah ini adalah kantong-kantong pertumbuhan penduduk, basis industri kecil-menengah, dan kawasan strategis secara geografis.

Namun, mereka menghadapi tantangan khas: kemacetan kronis, banjir tahunan, polusi dari industri, hingga pelayanan publik yang lambat karena jauhnya pusat pemerintahan di Soreang.

Pemekaran Kabupaten Bandung Timur semestinya menjadi solusi jangka panjang. Daerah yang kaya akan potensi ekonomi, budaya, dan sumber daya manusia ini layak mendapatkan sistem pemerintahan yang lebih dekat, responsif, dan efisien.

Pemerintah daerah yang berada dalam jangkauan geografis akan lebih mudah menyusun perencanaan pembangunan yang sesuai karakter wilayah.

Namun sayangnya, langkah konkret ke arah pemekaran sering terhambat oleh tarik-menarik kepentingan politik, minimnya dukungan administratif, dan belum rampungnya dokumen kajian kelayakan sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Belum lagi, moratorium pembentukan DOB yang diberlakukan pemerintah pusat sejak 2014 juga menjadi tembok penghalang yang belum kunjung runtuh.

Di sisi lain, semangat warga Bandung Timur tak pernah surut. Forum-forum masyarakat terus menyuarakan aspirasi mereka.

Beberapa anggota DPRD dan tokoh masyarakat telah menyatakan dukungan, namun gerakan ini belum cukup kuat jika tidak ada sinergi yang solid antara rakyat, birokrasi lokal, dan elite politik tingkat provinsi maupun pusat.

Kini, yang dibutuhkan bukan hanya semangat perjuangan, tetapi juga strategi gerakan yang terukur, terstruktur, dan berbasis data.

Para inisiator pemekaran harus menyusun ulang narasi perjuangan: dari sekadar keluhan menjadi agenda pembangunan yang solutif.

Dibutuhkan dokumen akademik yang kuat, dukungan politik yang konsisten, dan tekanan publik yang berkelanjutan agar Kabupaten Bandung Timur tidak sekadar menjadi mimpi abadi dalam wacana pemekaran.

Masyarakat Bandung Timur berhak atas pemerintahan yang lebih adil dan dekat. Mereka berhak menentukan masa depannya sendiri, seperti yang pernah dilakukan oleh saudara-saudara mereka di wilayah barat.

Kelahiran Kabupaten Bandung Timur bukan hanya tentang batas wilayah administratif, tetapi tentang keadilan dan hak politik untuk mendapatkan pelayanan publik yang bermutu.

Sampai hari ini, Kabupaten Bandung Timur masih menjadi janin yang belum sempat lahir, ditunggu dengan sabar, tapi dibiarkan terlunta. Sudah saatnya kita akhiri penantian ini dengan kerja nyata. (Bumi Gandasari, Mei 2025)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button